Media Sosial Jadi Pisau Bermata Dua dalam Aksi Demo

Internasional Tekno

Perkembangan teknologi, khususnya media sosial, kini semakin lekat dengan berbagai gerakan massa. Dalam aksi-aksi demonstrasi belakangan ini, platform seperti X, TikTok, Instagram, hingga WhatsApp terbukti memainkan peran besar. Dari satu sisi, media sosial mampu menjadi alat efektif untuk menyebarkan informasi dan menggerakkan solidaritas, namun di sisi lain juga bisa menjadi sumber masalah serius.

Kecepatan penyebaran informasi melalui media sosial memungkinkan massa aksi berkumpul dalam waktu singkat. Tagar, video live streaming, hingga poster digital menjadi sarana koordinasi yang sulit dihentikan. Di Indonesia, fenomena ini terlihat jelas saat generasi muda menggunakan medsos untuk mengajak turun ke jalan, bahkan menyelipkan unsur kreatif berupa meme dan simbol budaya populer agar lebih mudah diterima.

Namun, sisi gelapnya juga tak bisa diabaikan. Informasi palsu atau hoaks dengan cepat menyebar dan dapat memicu kesalahpahaman di lapangan. Narasi provokatif kerap memanaskan situasi, membuat eskalasi aksi sulit dikendalikan. Bahkan, aparat keamanan pun seringkali harus bekerja ekstra untuk membedakan informasi nyata dengan manipulasi digital.

Pakar komunikasi menilai media sosial kini menjadi “pisau bermata dua” dalam konteks demokrasi. Di satu sisi memberi ruang ekspresi dan transparansi, namun di sisi lain membuka celah penyalahgunaan. “Medsos bisa memperkuat suara rakyat, tapi juga bisa memperbesar kericuhan jika tidak diimbangi literasi digital,” kata seorang akademisi komunikasi politik.

Fenomena ini juga terjadi di luar negeri. Dari Hong Kong, Myanmar, hingga Prancis, media sosial terbukti menjadi motor perlawanan, tetapi sekaligus alat yang dipantau ketat oleh pemerintah untuk melacak para demonstran. Situasi ini menimbulkan perdebatan panjang: apakah media sosial lebih membawa manfaat demokrasi, atau justru risiko instabilitas.

Ke depan, tantangan terbesar adalah bagaimana generasi muda sebagai pengguna utama medsos dapat memanfaatkannya secara bijak. Tanpa itu, media sosial akan terus menjadi pedang bermata dua: menginspirasi perubahan, sekaligus berpotensi melukai penggunanya sendiri. (CGBT)